Laman

Selasa, 11 Juni 2013

Breaking dawn Part 8 (Versi bumsso)

Author: Chintami (Mediyanti Christin)
Judul: Breaking dawn Part 8 (Versi bumsso)
Genre: Romantic, NC
cast:
Kim Bum ( Edward Cullen ), Kim so eun ( Bella Swan), Lee SungMin ( Jacob), Park Shin Hye (Alice), Jang Geun Suk ( Jasper), Ji Yeon ( Rosalie), Seung Ho ( Emmett), Kim Tae Hae ( Esme), So Seong Hoon (Carlisle).


Aku separo tersenyum, kemudian mengangkat tanganku yang bebas, tanganku tidak gemetar sekarang dan meletakkannya didada kim bum sekarang. Kim bum bergidik kecil karena sentuhanku yang hangat. Napasnya semakin memburu.

“aku sudah berjanji kita akan mencobanya” bisik kim bum, mendadak tegang. “kalau.. kalau aku melakukan kekeliruan, kalau aku menyakitimu, kau harus langsung memberitahuku”
Aku mengangguk tenang. Mataku tetap tertuju padanya.
“jangan takut” bisikku. “kita ditakdirkan untuk bersama”. Mendadak hatiku diliputi kebahagiaan oleh kebenaran kata-kataku. Moment ini teramat sempurna.

Kedua lengan kim bum melingkariku, memelukku rapat ke dadanya, musim panas dan musin dingin. Rasanya seolah-olah setiap ujung saraf di tubuhku merupakan kabel listrik. “selamanya” kim bum setuju kemudian perlahan-lahan menarik tubuh kami ke air yang lebih dalam.

Kim bum menciumku lalu menggendongku keranjang kami. tubuhnya yang dingin menindihku dan mulai menciumku lagi. Ciumannya semakin dalam dan aku semakin terhanyut dalam ciuman itu. perlahan-lahan kim bum mulai memasuki dirinya. Aku berteriak ketika sesuatu menembus selaput darahku.
“gwenchana?” tanya kim bum
“ne.. aku baik-baik saja”
“apa mau aku lanjutkan? Kalau kau kesakitan, aku bisa memberhentikannya”
“aniyo.. lanjutkan itu oppa”
Kim bum terus memasuki diriku dan ketika aku sudah mulai terbiasa, kami pun menggoyangkan? Badan kami sesuai irama dan aku ambruk dalam pelukan kim bum ketika mencapai puncak kenikmatan. Aku terlelap dalam pelukan kim bum.

Matahari terasa panas di kulit punggungku yang terbuka, membangunkanku di pagi hari. Mungkin sudah menjelang siang atau telah lewat tengah hari, aku tidak tahu. Tapi aku bisa mengetahui jelas hal lain selain waktu, aku tahu persis dimana aku berada, kamar terang benderang dengan tempat tidur putih besar, sinar matahari menyorot lewat pintu-pintu yang terbuka. Lipatan-lipatan kelambu melembutkan sinarnya.

Aku tidak membuka mata, aku terlalu bahagia untuk mengubah apapun, tak peduli betapapun kecilnya. Satu-satunya suara hanya debur ombak diluar sana, embusan napas kami dan detak jantungku.

Aku merasa nyaman walaupun matahari bersinar terik. Kulit kim bum yang dingin merupakan penangkal yang sempurna bagi panasnya udara. Berbaring di dadanya yang sedingin es, kedua lengannya memelukku, terasa sangat mudah dan natural. Malas-malasan aku mengenang betapa paniknya aku semalam. Sekarang semua ketakutanku terasa konyong sekarang.

Jari-jari kim bum dengan lembut menyusuri tulang belakangku dan aku tahu bahwa ia sudah tahu aku bangun. Mataku tetap terpejam dan aku malah mempererat kedua lenganku yang melingkari lehernya, semakin merapatkan tubukku ke tubuhnya.

Kim bum diam saja, jari-jarinya terus membelai punggungku, nyaris tidak menyentuhnya saat ia menyusurinnya dengan ujung jari, membentuk berbagai pola di kulitku.
Aku sudah cukup bahagia berbaring saja disini selamanya, tak pernah mengusik moment ini, tapi tubuhku ternyata berpendapat lain. Aku menertawakan perutku yang tidak sabaran. Sepertinya agak membosankan bila aku kelaparan setelah semua yang terjadi semalam. Seperti dibawa kembali ke bumi setelah sebelumnya berada di ketinggian.

“apanya yang lucu?” gumam kim bum, masih terus membelai-belai punggungku. Suaranya yang serius dan parau, menyeret kembali kenangan semalam membuat wajah dan leherku memerah.

Menjawab pertanyaannya, perutku berbunyi. Aku tertawa lagi. “kau tidak bisa terlalu lama melepaskan diri dari kemanusiawimu”

Aku menunggu tapi kim bum tidak ikut tertawa bersamaku. Lambat laun, menembus banyak lapisan kebahagiaanku yang memenuhi kepalaku, muncul kesadaran adanya atmosfer berbeda diluar kebahagiaan yang melingkupiku.

Aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah kulit leher kim bum yang pucat dan nyaris keperakan, lekuk dagunya di atas wajahku. Dagunya keras. Kutopang tubuhku dengan siku agar bisa melihat wajahnya.

Dia sedang memandangi kanopi putih diatas kami dan dia tidak menatapku waktu aku mengamati garis-garis wajahnya yang muram.  Ekspresinya membuatku terguncang, membuat sekujur tubuhku tersentak.

“kim bum?’’ kataku, suaraku sedikit tercekat. “ada apa? Ada masalah apa?”
“masa kau harus bertanya lagi?” suaranya kaku, sinis. Naluri pertamaku hasil dari perasaan minder yang kurasakan seumur hidup, adalah bertanya-tanya apakah aku telah melakukan kesalahan. Otakku berputar, memikirkan semua yang telah terjadi tapi sama sekali tidak menemukan keganjilan. Aku tidak bisa memikirkan satupun yang bisa membuat kim bum terlihat seperti ini, begitu kaku dan dingin. Apa yang terlewatkan olehku?.

Jari kim bum menghaluskan kerutan khawatir di keningku.
“apa yang kau pikirkan?” bisiknya.
“kau marah.. aku tidak mengerti. Apakah aku…? “ aku tidak sanggup menyelesaikan kata-kataku.
Mata kim bum menegang. “separah apa cedera yang kau alami so eun? sejujurnya jangn coba-coba memperhalus”
“cedera?” ulangku, nadaku lebih tinggi daripada biasanya, karena kata itu membuatku terkejut.

Kim bum mengangkat sebelah alisnya, bibirnya terkatup rapat. Dengan cepat aku membuat penilaian, otomatis meregangkan tubuh, mengejangkan dan mengendurkan otot-ototku. Tubuhku memang kaku dan di beberapa tempat terasa nyeri, itu benar. Tapi sebagian besar yang aku rasakan hanya sensasi ganjil seakan-akan semua persendian tulangku lepas dan aku separo berubah lembek seperti ubur-ubur.
Tapi itu bukan perasaan yang tidak menyenangkan.

Kemudian aku merasa agak marah karena kim bum sudah merusak pagi paling sempurna ini dengan asumsi-asumsinya yang pesimis.
“mengapa kau harus langsung mengambil kesimpulan seperti itu? belum pernah aku merasa lebih baik daripada sekarang”
Kim bum memejamkan matanya “hentikan”
“hentikan apa?”
“berhenti bertingkah seolah-olah aku bukan monster karena sepakat melakukannya”.
“kim bum!” bisikku, benar-benar marah sekarang. Dia menyeret kenanganku yang indah kedalam kegelapan, menodainya.
“jangan pernah berkata begitu.”
Kim bum tidak membuka mata, seolah-olah tidak ingin melihatku.
“lihat saja dirimu so eun, jangn bilang aku bukan monster”.
Sakit hati dan shock tanpa berpikir aku mengikut instruksinya dan terkesiap.
Apa yang terjadi padaku? Aku bingung melihat salju putih lembut yang menempel di kulitku. Aku menggeleng dan benda-benda putih berjatuhan dari rambutku.
Kupungut sepotong benda putih lembut itu dengan jariku dan ternyata isi bantal.
“mengapa tubuhku tertutup bulu-bulu?” tanyaku kebingungan.
Kim bum menghembuskan napas tidak sabar “ aku menggigit satu atau dua bantal tapi bukan itu yang kumaksud”.
“kau menggigit bantal? Mengapa?”
“dengar so eun!” sergah kim bum, nyaris menggeram. Dia meraih tanganku dengan sangat hati-hati dan meluruskannya.
“lihat itu”.

Kali ini kau melihat apa yang dimaksudkannya. Dibalik tebaran bulu-bulu aku melihat memar-memar besar di kulit lenganku yang pucat. Mataku mengikuti jejak memar itu hingga ke bahuku kemudian turun mengarah ke tulang rusuk. Kutarik tanganku dan kutusukkan kebagian yang mulai berubah warna di lengan atas sebelah kiri, melihat warnanya memudar waktu kusentuh tetapi kemudia muncul kembali. Rasanya agak berdenyut-denyut.
Dengan sangat hati-hati nyaris tidak menyentuhku, kim bum meletakkan tangannya di atas memar-memar itu.
Aku berusaha memeras otakku, berusaha mengingat kejadian semalam. Aku tidak merasa cengkeramannya yang kuat malahan yang aku ingat waktu itu aku menginginkan lebih.
“aku… sangat menyesal so eun” bisik kim bum saat aku memandangi memar-memar itu. “seharusnya aku tahu bakal begini jadinya, seharusnya aku tidak….” Dia mengeluarkan suara seperti jijik. “aku sangat menyesal lebih dari yang aku ungkapkan”.
Dia melontarkan lengannya menutupi wajah dan tubuhnya, dia tak bergerak.
Lama sekali aku hanya diam dan terpaku, berusaha menerima sekarang. Kusentuh lengannya tapi dia diam saja. Kugenggam pergelangan tangannya dan mencoba menarik lengannya yang menutupi wajahnya tetapi dia tidak bergeming.
“kim bum”
Dia diam saja.
“kim bum?’’
Tidak ada sahutan. Jadi ini akan menjadi monolog kalau seperti begitu.
“aku tidak menyesal kim bum. Aku… aku bahkan tidak bisa mengungkapkannya. Aku sangat bahagia. itu tidak cukup untuk mengungkapkan kebahagiaanku yang sebenarnya. Jangan marah. Sungguh, aku ba..”
“jangan bilang kau baik-baik saja” suara kim bum sedingin es. “kalau kau menghargai kewarasanku, jangan katakana bahwa kamu baik-baik saja”.
“tapi memang itulah yang aku rasakan”.
“so eun” dia nyaris mengerang “jangan”.
“tidak, kau yang jangan kim bum”
Kim bum menyingkirkan lengannya, matanya yang keemasan menatapku kecut.
“jangan merusak suasana.. aku sudah sangat bahagia”.
“aku sudah terlanjur merusak suasana” bisiknya.
“maka hentikan” bentakku.
Kudengar dia menggertakkan gigi.
“ugh!” erangku “mengapa kau belum juga bisa membaca pikiranku? Betapa enaknya kalau kau bisa membaca pikiranku”.

Mata kim bum terbelalak dikit, perhatiannya sejenak teralihkan.
“tumben, biasanya kau justru senang aku tidak dapat membaca pikiranmu”
“hari ini tidak”.
Ia menatapku ‘’ mengapa”?

Aku melontarkan kedua tanganku saking frustasinya, merasakan nyeri di pundakku yang sebelumnya kuabaikan. Telapak tanganku membentur dada kim bum dengan suara keras. “karena semua perasaan bersalah ini tidak perlu terjadi kalau saja kau bisa mengetahui apa yang aku rasakan saat ini atau lima menit yang lalu. setidaknya aku tadi meraskan sangat bahagia. benar-benar merasa tenang dan damai. Sekarang bisa dibilang aku agak marah”.
“memang seharusnya kau marah padaku” kata kim bum.
“aku memang marah tapi apakah itu membuat perasaanmu lebih baik?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar